Selain dari pada pegawai-pegawai yang berkewajiban mengusut pelanggaran pada umumnya, pegawai-pegawai pengawasan perburuhan dan orang-orang lain yang menurut Undang-Undang ditunjuk dan diberi kekuasaan untuk itu, kecuali diwajibkan untuk menjaga dan membantu supaya aturan-aturan dalam Undang-undang ini dan dalam peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan berhubung dengan Undang-undang ini serta perintah-perintah termaksud dalam pasal 16 ayat (3) dijalankan, diwajibkan juga untuk mengusut pelanggaran.
BAGIAN IX.
ATURAN TAMBAHAN.
Pasal 21(1)Dalam Peraturan Pemerintah akan ditetapkan saat mulai berlakunya Undang-undang ini, demikian juga akan diatur berangsur-angsur berlakunya Undang-undang ini terhadap pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu untuk seluruh atau sebagian dari aturan-aturan dalam Undang-Undang ini.
(2)Dalam Peraturan Pemerintah tersebut dalam ayat (1) dapat juga diadakan aturan-aturan peralihan.
Pasal 22Undang-undang ini disebut "Undang-undang Kerja tahun 1948".
Agar Undang-undang ini diketahui oleh umum, diperintahkan supaya diumumkan secara biasa.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 20 April 1948
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEKARNO.
Menteri Kehakiman,
SOESANTO TIRTOPRODJO.
Diumumkan
pada tanggal 15 April 1948
Sekretaris Negara,
A.G. PRINGGODIGDO
Pasal 1
Ayat (1) Yang diatur dalam Undang-undang ini ialah pekerjaan yang dijalankan oleh buruh untuk majikan dalam suatu hubungan kerja dengan menerima upah. Maka yang penting ialah syarat, bahwa harus ada suatu hubungan kerja yang "zakelijk". Dalam arti kata upah tidak hanya termaktub upah dengan uang, melainkan juga upah dengan barang atau perbuatan imbangan, dan bentuk-bentuk upah lainnya. Berhubungan dengan itu misalnya tidak dikenakan oleh, Undang-undang ini: pekerjaan yang dijalankan oleh pelajar-pelajar sekolah pertukangan yang bersifat pendidikan, pekerjaan yang dijalankan oleh seseorang untuk diri sendiri atau perusahaannya sendiri, pekerjaan yang dijalankan oleh seorang anak untuk orang tuanya, oleh seorang isteri untuk suaminya, pekerjaan yang dijalankan oleh anggauta-anggauta sekeluarga untuk perusahaan keluarga itu dan pekerjaan yang dijalankan oleh seorang untuk tetangganya atas dasar tolong menolong menurut ada kebiasaan. Dalam pasal ini diadakan 3 golongan orang.
Orang dewasa: yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 18 tahun ke atas.
Orang muda: yaitu orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur lebih dari 14 tahun tetapi kurang dari 18 tahun. Dalam umur itu kemungkinan kemajuan badan dan kecerdasan sedang berkembang. Berhubung dengan itu, perlu diadakan pembatasan kerja yang mengenai buruh muda, untuk menjaga jangan sampai kemungkinan kemajuan itu terhalang.
Anak: ialah orang laki-laki maupun perempuan, yang berumur 14 tahun ke bawah. Penetapan batas umur ini berhubungan dengan larangan pekerjaan anak.
Keadaan badan anak umumnya masih lemah. Dipandang dari sudut pendidikan anak masih harus bersekolah sampai umum 14 tahun, yang kira-kira sampai sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa 2 atau 3 tahun sesudahnya ke luar dari sekolah rendah. Dalam penetapan batas umur dan larangan pekerjaan anak terkandung cita-cita, bahwa anak-anak kita umumnya sekurang-kurangnya harus berpendidikan rendah ditambah dengan 2 atau 3 tahun sekolah menengah atau sekolah kepandaian istimewa. Batas umur 14 tahun ini ialah sama dengan yang telah ditetapkan dalam Converentie internasional.
Undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda dulu mengambil sebagai batas umur 12 tahun untuk larangan pekerjaan anak. Undang-undang kerja ini dapat dikatakan amat maju dalam hal itu.
Ayat (2) Dalam Undang-undang ini dianggap tidak perlu ditegaskan arti kata majikan, ialah umumnya tiap-tiap orang pemberi pekerjaan (werkgever). Yang dianggap penting yalah, perluasan arti yang termaktub dalam ayat ini berhubung dengan tanggung jawab tentang berlakunya Undang-undang ini termaksud dalam pasal 17.
Ayat (3) Perluasan arti perusahaan dengan sifat umum yang dimaksudkan dengan Undang-undang ini.
Pasal 2Ayat (1) Larangan pekerjaan anak didasarkan atas maksud untuk menjaga kesehatan dan pendidikannya. Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan apalagi yang berat.
Pekerjaan yang ringanpun merugikan kemungkinan kemajuan kecerdasan anak, karena pekerjaan, apalagi yang sifatnya routine, menyebabkan tumpulnya kecerdasan anak. Selain dari pada itu larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajarbagi anak-anak sekarang di Indonesia belum ada kewajiban belajar.
Maksudnya bersama-sama dengan larangan pekerjaan anak diadakan tempat pendidikan yang cukup bagi anak.
Pasal 3
Pasal ini memudahkan soal bukti dalam menuntut pelanggaran larangan pekerjaan anak.
Pasal 4, 5, dan 6
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang muda dengan melarang pekerjaan orang muda yang mudah merusak atau berbahaya bagi kesehatannya. Orang muda masih harus mengembangkan kemungkinan kemajuannya, jasmani dan rohani. Dalam pasal 4 ayat (2) dan (3) di atas hal-hal yang dapat dikecualikan dari larangan pekerjaan orang muda pada malam hari.
Pasal 7, 8, dan 9
Pasal-pasal ini membatasi pekerjaan orang wanita atas pertimbangan, bahwa wanita itu lemah badannya untuk menjaga kesehatan dan kesusilaannya.
Dikecualikan dari larangan pekerjaan wanita pada malam hari, pekerjaan yang menurut sifat, tempat dan keadaan seharusnya dijalankan oleh orang wanita, misalnya pekerjaan dalam rumah sakit.
Pasal 10
Dalam pasal ini ditetapkan waktu kerja maximum dan waktu istirahat. Jikalau kita mengingat masa pembangunan negara yang kita hadapi, dan ternyata mempergunakan pekerjaan buruh dinegeri kita yang pada umumnya belum rasionil, maka penetapan waktu kerja dan istirahat tadi menggambarkan dengan cukup jelas maksud pemerintah untuk mempertinggi derajat penghidupan dan kecerdasan buruh.
Pasal 11
Dalam pasal ini ditetapkan bahwa pada hari-hari raya yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah, buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan. Maksudnya: ialah, bahwa buruh sepatutnya mendapat kesempatan juga untuk merayakan hari raya itu.
Kekecualian dalam pasal ini mengenai misalnya: pekerjaan dalam perusahaan kereta-api, perusahaan pengangkutan lain, yang karena sifatnya harus berjalan terus.
Pasal 12
Pasal ini merupakan kekecualian terhadap penetapan jam kerja, waktu istirahat dan hari libur dalam pasal 10 dan 11, yaitu mengatur hal-hal di mana buruh terpaksa bekerja terus untuk menghindarkan kekacauan atau gangguan dalam productie atau administrasi. Itupun masih dengan pembatasan waktu kerja sampai 54 jam seminggu. Pekerjaan itu memang berat, akan tetapi oleh karena tidak selalu dipergunakan dan biasanya hanya mengenai pekerjaan masa (seizoensarbeid) maka dalam prakteknya aturan ini tidak akan membawa akibat yang merugikan kesehatan buruh. Syarat-syarat untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh akan ditetapkan dalam peraturan Pemerintah misalnya yang mengenai cara kerja giliran; pembatasan lamanya waktu kerja masa dan lain sebagainya.
Pasal 13
Pasal ini menjamin waktu istirahat bagi buruh wanita pada waktu haidh dan pada waktu sebelum dan sesudahnya melahirkan anak untuk menjaga kesehatan dan keselamatan buruh wanita dan anaknya Pemerintah bermaksud akan menetapkan dalam Undang-undang lainnya, bahwa buruh wanita tadi selama waktu istirahat itu tetap menerima upahnya penuh.
Dalam aturan ayat (4) terkandung maksud Pemerintah untuk menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan kewajibannya terhadap anaknya. Dipikirkan juga oleh Pemerintah misalnya kemungkinan mengadakan tempat penitipan dan pemeliharaan anak-anak buruh wanita.
Pasal 14
Pasal ini mengharuskan waktu istirahat tahunan selama dua minggu. Buruh kita seharusnya diberi kesempatan untuk beristirahat yang akan dipergunakan untuk menengok kaum keluarga atau untuk mengadakan perjalanan peninjauan dengan maksud untuk menyegarkan badan dan pikiran serta meluaskan pemandangan. Dalam hal ini dipikirkan kemung- kinan mengadakan tempat-tempat istirahat dan peninjauan bagi buruh. Aturan dalam ayat (2) antara lain ditujukan kepada buruh yang bekerja dikepulauan lain dari pada asalnya.
Pasal 15
Ayat (1) dari pasal ini menjamin kesempatan bagi buruh untuk menjalankan kewajiban menurut agamanya. Aturan dalam ayat (2) ini memberikan kesempatan bagi buruh untuk merayakan kemenangannya.
Pasal 16
Pasal ini memuat aturan pangkal untuk aturan-aturan yang lebih khusus tentang tempat kerja dan perumahan buruh yang disediakan oleh majikan. Aturan-aturan selanjutnya yang khusus akan dikeluarkan dalam Peraturan Pemerintah.
Menurut ayat (3) pegawai pengawasan perburuhan yang ditunjuk oleh Menteri yang diserahi urusan Perburuhan berhak untuk memberi perintah-perintah tentang penjagaan kebersihan dan kesehatan dalam tempat kerja dan perusahaan buruh yang disediakan oleh majikan.
Pasal 17
Pasal ini menetapkan siapa yang bertanggung jawab, bahwa aturan-aturan dalam Undang-undang ini, dalam peraturan-peraturan dan perintah-perintah termaksud dalam pasal 16 ayat (3) diindahkan. Jikalau majikan memenuhi kewajibannya, niscaya tidak akan dijalankan pekerjaan yang bertentangan dengan aturan-aturan itu.
Pasal 18
Pasal ini memuat aturan-aturan hukuman. Hal-hal yang dikenakan hukuman menurut Undang-undang ini dianggap sebagai pelanggaran. Ancaman hukuman agak berat berhubung dengan pentingnya tujuan Undang-Undang ini dan terbelakangnya perburuhan dan buruh di negeri ini.
Pasal 19
Pasal ini memberi peraturan tentang penuntutan dan penghukuman, jika majikan itu suatu badan hukum.
Pasal 20
Menyebut pegawai-pegawai yang khusus diwajibkan mengusut pelanggaran aturan-aturan kerja dalam dan berhubung dengan Undang-undang ini.
Pasal 21
Untuk menjamin supaya Undang-undang ini berlaku selekas-lekasnya dan untuk menghindarkan kesulitankesulitan berhubung dengan keadaan sekarang, maka diadakan macam-macam kemungkinan tentang cara menetapkan berlakunya.
Dalam Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan, bahwa Undang-undang ini berlaku berangsur-angsur untuk pekerjaan atau macam pekerjaan yang tertentu.
Peraturan Pemerintah dapat juga menetapkan, bahwa aturan-aturan dalam Undang-undang ini dapat berlaku sebagian atau seluruhnya.
Cara yang ketiga ialah mengadakan aturanaturan peralihan untuk mempermudah berlakunya Undang-undang ini dengan mempersiapkan keadaan.
Dengan sendirinya usaha persiapan dan peralihan ini memerlukan kebijaksanaan yang sungguhsungguh. Maka dari itu kewajiban ini diserahkan kepada Peraturan Pemerintah yang dengan cara yang lebih "lemas" dapat mengatasi kesulitan-kesulitan.