(1)Dalam rangka penyelenggaraan rekening Pemerintah Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah membuka Rekening Kas Umum Daerah pada bank yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota.
(2)Dalam pelaksanaan operasional Penerimaan dan Pengeluaran Daerah, Bendahara Umum Daerah dapat membuka Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran pada bank yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3)Rekening Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk menampung Penerimaan Daerah setiap hari.
(4)Saldo Rekening Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas Umum Daerah.
(5)Rekening Pengeluaran pada bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan dana yang bersumber dari Rekening Kas Umum Daerah.
(6)Jumlah dana yang disediakan pada Rekening Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintahan yang telah ditetapkan dalam APBD.
Pasal 28(1)
Pokok-pokok mengenai pengelolaan uang negara/daerah diatur dengan
peraturan pemerintah setelah dilakukan konsultasi dengan bank sentral.
(2)Pedoman lebih lanjut mengenai pengelolaan uang negara/daerah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
(3)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berkaitan dengan pengelolaan uang daerah selanjutnya diatur dengan peraturan daerah.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penerimaan Negara/Daerah
oleh Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pasal 29(1)Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran dapat membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan setelah memperoleh persetujuan dari Bendahara Umum Negara.
(2)Menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara untuk menatausahakan penerimaan negara di lingkungan kementerian negara/lembaga.
(3)Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara dapat memerintahkan pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 30(1)Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan ijin pembukaan rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Gubernur/bupati/walikota mengangkat bendahara untuk menatausahakanpenerimaan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Uang Persediaan untuk Keperluan
Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah
Pasal 31(1)Menteri/pimpinan lembaga dapat membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan pengeluaran di lingkungan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
(2)Menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara untuk mengelola uang yang harus dipertanggungjawabkan dalam rangka pelaksanaan pengeluaran kementerian negara/lembaga.
(3)Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara dapat memerintahkan pemindahbukuan dan/atau penutupan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 32(1)Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan ijin pembukaan rekening untuk keperluan pelaksanaan pengeluaran di lingkungan satuan kerja perangkat daerah.
(2)Gubernur/bupati/walikota mengangkat bendahara untuk mengelola uang yang harus dipertanggungjawabkan dalam rangka pelaksanaan pengeluaran satuan kerja perangkat daerah.
BAB V
PENGELOLAAN PIUTANG DAN UTANG
Bagian Pertama
Pengelolaan Piutang
Pasal 33(1)Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN.
(2)Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman atau hibah kepadalembaga asing sesuai dengan yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN.
(3)
Tata cara pemberian pinjaman atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Pasal 34(1)Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja, dan kekayaan negara/daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang negara/daerah diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu.
(2)Piutang negara/daerah yang tidak dapat diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu, diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 35Piutang negara/daerah jenis tertentu mempunyai hak mendahulu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 36(1)Penyelesaian piutang negara/daerah yang timbul sebagai akibat hubungan keperdataan dapat dilakukan melalui perdamaian, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.
(2)Penyelesaian piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyangkut piutang negara ditetapkan oleh:
- Menteri Keuangan, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati tidak lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
- Presiden, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
- Presiden, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, jika bagian piutang negara yang tidak disepakati lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3)Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyangkut piutang Pemerintah Daerah ditetapkan oleh:
- Gubernur/bupati/walikota, jika bagian piutang daerah yang tidak disepakati tidak lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
- Gubernur/bupati/walikota, setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, jika bagian piutang daerah yang tidak disepakati lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4)Perubahan atas jumlah uang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 37(1)Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.
(2)Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menyangkut piutang Pemerintah Pusat, ditetapkan oleh:
- Menteri Keuangan untuk jumlah sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
- Presiden untuk jumlah lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
- Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk jumlah lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3)Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang menyangkut piutang Pemerintah Daerah, ditetapkan oleh:
- Gubernur/bupati/walikota untuk jumlah sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
- Gubernur/bupati/walikota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk jumlah lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(4)Perubahan atas jumlah uang, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan dengan undang-undang.
(5)
Tata cara penyelesaian dan penghapusan piutang negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) serta dalam Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
peraturan pemerintah.
Bagian Kedua
Pengelolaan Utang
Pasal 38(1)Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa atas nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang negara atau menerima hibah yang berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang APBN.
(2)Utang/hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD.
(3)Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada Anggaran Belanja Negara.
(4)
Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang berasal dari
dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan utang atau hibah
luar negeri kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 39(1)Gubernur/bupati/walikota dapat mengadakan utang daerah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(2)Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah menyiapkan pelaksanaan pinjaman daerah sesuai dengan keputusan gubernur/bupati/walikota.
(3)Biaya berkenaan dengan pinjaman dan hibah daerah dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah.
(4)Tata cara pelaksanaan dan penatausahaan utang negara/daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 40(1)Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang (menurut MK (putusan No. 15/PUU-XIV/2016 tgl 17 feb 2016 jo. No. 18/PUU-XV/2017 tgl 20 apr 2017) tgl 28 sep 2017, harus dimaknai "tidak berlaku bagi jaminan pensiun dan jaminan hari tua".).
(2)Kedaluwarsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa.
(3)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah.
BAB VI
PENGELOLAAN INVESTASI
Pasal 41(1)Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya.
(2)Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung.
(4)Penyertaan modal pemerintah pusat pada perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
(5)Penyertaan modal pemerintah daerah pada perusahaan negara/daerah/swasta ditetapkan dengan peraturan daerah.
BAB VII
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
Pasal 42(1)Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara.
(2)Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
(3)Kepala kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah Kuasa Pengguna Barang dalam lingkungan kantor yang bersangkutan.
Pasal 43(1)Gubernur/bupati/walikota menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah.
(2)Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3)Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Barang bagi satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
Pasal 44Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan menatausahakan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.
Pasal 45(1)Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan.
(2)Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Pasal 46(1)Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk:
- pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
- tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang:
- sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
- harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
- diperuntukkan bagi pegawai negeri;
- diperuntukkan bagi kepentingan umum;
- dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
- Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(2)Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden.
(3)Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
Pasal 47(1)Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk:
- pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan.
- tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang:
- sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota;
- harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran;
- diperuntukkan bagi pegawai negeri;
- diperuntukkan bagi kepentingan umum;
- dikuasai daerah berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.
- Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2)Pemindahtanganan barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dilakukan setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota.
Pasal 48(1)Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu.
Pasal 49(1)Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah yang bersangkutan.
(2)Bangunan milik negara/daerah harus dilengkapi dengan bukti status kepemilikan dan ditatausahakan secara tertib.
(3)Tanah dan bangunan milik negara/daerah yang tidak dimanfaatkan untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan, wajib diserahkan pemanfaatannya kepada Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota untuk kepentingan penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah.
(4)Barang milik negara/daerah dilarang untuk diserahkan kepada pihak lain sebagai pembayaran atas tagihan kepada Pemerintah Pusat/Daerah.
(5)Barang milik negara/daerah dilarang digadaikan atau dijadikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman.
(6)
Ketentuan mengenai pedoman teknis dan administrasi pengelolaan barang milik negara/daerah diatur dengan
peraturan pemerintah.
BAB VIII
LARANGAN PENYITAAN UANG DAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
DAN/ATAU YANG DIKUASAI NEGARA/DAERAH
Pasal 50Pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:
- uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
- uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
- barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
- barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
- barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.
BAB IX
PENATAUSAHAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN APBN/APBD
Bagian Pertama
Akuntansi Keuangan
Pasal 51(1)Menteri Keuangan/Pejabat Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Negara/Daerah menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.
(2)Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja, yang berada dalam tanggung jawabnya.
(3)
Akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan untuk menyusun laporan keuangan Pemerintah Pusat/Daerah sesuai dengan
standar akuntansi pemerintahan.
Bagian Kedua
Penatausahaan Dokumen
Pasal 52Setiap orang dan/atau badan yang menguasai dokumen yang berkaitan dengan perbendaharaan negara wajib menatausahakan dan memelihara dokumen tersebut dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban Keuangan
Pasal 53(1)Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa Bendahara Umum Negara/Bendahara UmumDaerah.
(2)Kuasa Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya.
(3)Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada Presiden dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya.
(4)Bendahara Umum Daerah bertanggung jawab kepada gubernur/bupati/walikota dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya.
Pasal 54(1)Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya.
(2)Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
Bagian Keempat
Laporan Keuangan
Pasal 55(1)Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(2)Dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
- Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian negara/lembaga masing-masing.
- Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
- Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat;
- Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah Pusat dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara.
(3)Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan Presiden kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(4)Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
(5)Ketentuan lebih lanjut mengenai laporan keuangan dan kinerja instansi pemerintah diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 56(1)Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun laporan keuangan pemerintah daerah untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.
(2)Dalam penyusunan laporan keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
- Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan.
- Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
- Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah menyusun Laporan Arus Kas Pemerintah Daerah;
- Gubernur/bupati/walikota selaku wakil pemerintah daerah dalamkepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan daerah.
(3)Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(4)
Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan
standar akuntansi pemerintahan.
Bagian Kelima
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan
Pasal 57(1)Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi pemerintahan dibentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintahan.
(2)Komite Standar Akuntansi Pemerintahan bertugas menyusun standar akuntansi pemerintahan yang berlaku baik untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi yang berlaku umum.
(3)
Pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan, dan masa kerja Komite Standar Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
keputusan Presiden.
BAB X
PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH
Pasal 58(1)Dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.
(2)
Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
peraturan pemerintah.
BAB XI
PENYELESAIAN KERUGIAN NEGARA/DAERAH
Pasal 59(1)Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut.
(3)Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak mana pun.
Pasal 60(1)Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui.
(2)Segera setelah kerugian negara tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian negara dimaksud.
(3)Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian negara, menteri/pimpinan lembaga yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Pasal 61(1)Setiap kerugian daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepala satuan kerja perangkat daerah kepada gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.
(2)Segera setelah kerugian daerah tersebut diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang nyata-nyata melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) dapat segera dimintakan surat pernyataan kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud.
(3)Jika surat keterangan tanggung jawab mutlak tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian kerugian daerah, gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada yang bersangkutan.
Pasal 62(1)Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
(2)Apabila dalam pemeriksaan kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan unsur pidana, Badan Pemeriksa Keuangan menindaklanjutinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)Ketentuan lebih lanjut tentang pengenaan ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
Pasal 63(1)Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.
(2)Tata cara tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 64(1)Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
(2)Putusan pidana tidak membebaskan dari tuntutan ganti rugi.
Pasal 65Kewajiban bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain untuk membayar ganti rugi, menjadi kedaluwarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
Pasal 66(1)Dalam hal bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian negara/daerah berada dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris, terbatas pada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan.
(2)Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris untuk membayar ganti kerugian negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan, atau sejak bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat yang berwenang mengenai adanya kerugian negara/daerah.
Pasal 67(1)Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk uang dan/atau barang bukan milik negara/daerah, yang berada dalam penguasaan bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang digunakan dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan.
(2)Ketentuan penyelesaian kerugian negara/daerah dalam Undang-undang ini berlaku pula untuk pengelola perusahaan negara/daerah dan badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara, sepanjang tidak diatur dalam undang-undang tersendiri.
BAB XII
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LAYANAN UMUM
Pasal 68(1)Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
(2)Kekayaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
(3)Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
(4)Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggungjawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
Pasal 69(1)Setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan.
(2)Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah.
(3)Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan.
(4)Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.
(5)Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
(6)Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umumyang bersangkutan.
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum diatur dalam
peraturan pemerintah.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 70(1)Jabatan fungsional bendahara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibentuk selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
(2)Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-undang ini dilaksanakan selambat-lambatnya pada tahun anggaran 2008 dan selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
(3)Penyimpanan uang negara dalam Rekening Kas Umum Negara pada Bank Sentral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilaksanakan secara bertahap, sehingga terlaksana secara penuh selambat-lambatnya pada tahun 2006.
(4)Penyimpanan uang daerah dalam Rekening Kas Umum Daerah pada bank yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilaksanakan secara bertahap, sehingga terlaksana secara penuh selambat-lambatnya pada tahun 2006.
Pasal 71(1)Pemberian bunga dan/atau jasa giro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) mulai dilaksanakan pada saat penggantian Sertifikat Bank Indonesia dengan Surat Utang Negara sebagai instrumen moneter.
(2)Penggantian Sertifikat Bank Indonesia dengan Surat Utang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan mulai tahun 2005.
(3)Selama Surat Utang Negara belum sepenuhnya menggantikan Sertifikat Bank Indonesia sebagai instrumen moneter, tingkat bunga yang diberikan adalah sebesar tingkat bunga Surat Utang Negara yang berasal dari penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72Pada saat berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2860) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 73Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Undang-undang ini sudah selesai selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Pasal 74Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO