(1)Dalam hal percepatan pelaksanaan PIK memerlukan perpanjangan waktu pelaksanaan pembangunan, proses pengurusan permohonan perpanjangan Perizinan dan Nonperizinan tidak boleh mempengaruhi jalannya pelaksanaan pembangunan.
(2)Perpanjangan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan kepada PTSP Pusat, BPMPTSP Provinsi, atau BPMPTSP Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangannya.
(3)PTSP Pusat, BPMPTSP Provinsi, atau BPMPTSP Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan perpanjangan Perizinan dan Nonperizinan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.
(4)Dalam hal PTSP Pusat, BPMPTSP Provinsi, atau BPMPTSP Kabupaten/Kota tidak menerbitkan Perizinan dan Nonperizinan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perizinan dan Nonperizinan perpanjangan dianggap telah diberikan.
Pasal 28(1)Menteri/kepala lembaga wajib mendelegasikan atau melimpahkan wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan terkait dengan pelaksanaan PIK kepada PTSP Pusat melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.
(2)Gubernur atau bupati/walikota wajib mendelegasikan wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan terkait dengan percepatan pelaksanaan PIK kepada Kepala BPMPTSP Provinsi atau Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota.
(3)Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak didelegasikan atau dilimpahkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau pertimbangan teknis tidak dimungkinkan untuk didelegasikan atau dilimpahkan.
(4)Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal melaksanakan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan prosedur, kriteria, dan waktu penyelesaian Perizinan dan Nonperizinan yang ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga.
(5)Kepala BPMPTSP Provinsi atau Kepala BPMPTSP Kabupaten/Kota melaksanakan Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan prosedur, kriteria, dan waktu penyelesaian Perizinan dan Nonperizinan yang ditetapkan oleh gubernur atau bupati/walikota.
(6)Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencakup:
a.
kompleksitas;
b.
keahlian tertentu; dan
c.efisiensi dan efektifitas, dalam pemberian Perizinan dan Nonperizinan.
(7)Terhadap Perizinan dan Nonperizinan yang dapat tidak didelegasikan atau dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri/kepala dan gubernur atau bupati/walikota:
a.menetapkan prosedur, kriteria, dan waktu penyelesaian Perizinan dan Nonperizinan; dan
b.
menugaskan pejabat pada PTSP.
(8)Dalam rangka penetapan prosedur, dan kriteria Perizinan dan Nonperizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (7), menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/walikota melakukan penggabungan Perizinan, pengurangan prosedur, dan/atau persyaratan Perizinan dan Nonperizinan.
(9)Jangka waktu penyelesaian Perizinan dan Nonperizinan yang dilimpahkan atau didelegasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) ditetapkan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya dokumen Perizinan dan Nonperizinan secara lengkap dan benar.
(10)Jangka waktu penyelesaian Perizinan dan Nonperizinan yang tidak dapat dilimpahkan atau didelegasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dokumen Perizinan dan Nonperizinan diterima secara lengkap dan benar.
Pasal 29(1)Izin yang diberikan sebelum Peraturan Presiden ini diundangkan, tetap berlaku sepanjang kegiatan yang dilakukan sesuai dengan izin yang diberikan.
(2)Pengawasan terhadap pelaksanaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 30Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal melaporkan perkembangan pelaksanaan Perizinan dan Nonperizinan dalam rangka percepatan pelaksanaan PIK kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi perekonomian setiap 3 (tiga) bulan sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
BAB VI
TATA RUANG
Pasal 31(1)Pelaksanaan PIK dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(2)Dalam hal lokasi PIK tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan secara teknis tidak dimungkinkan untuk dipindahkan dari lokasi yang direncanakan, dilakukan langkah-langkah teknis oleh PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL bersama dengan kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah setempat.
(3)Langkah-langkah teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4)Dalam hal dilakukan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL mengajukan usulan perubahan kepada kementerian lembaga dan/atau Pemerintah Daerah bersangkutan.
(5)Kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat melakukan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 32(1)Dalam rangka percepatan pelaksanaan PIK, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyelesaikan penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
(2)Dalam hal penyelesaian penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah, atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat dilakukan karena belum mendapatkan persetujuan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, penyelesaian dilakukan melalui Penerapan Kawasan yang Belum Ditetapkan Perubahan Peruntukan Ruangnya (Holding Zone).
(3)PIK yang semula berada pada lokasi bukan kawasan hutan namun kemudian lokasi tersebut diubah menjadi kawasan hutan, pelaksanaan PIK tersebut tetap dapat dilanjutkan dengan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan.
(4)PIK berupa pemanfaatan energi air, panas, dan angin, dapat dilakukan pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)PIK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk transmisi.
BAB VII
PENYEDIAAN TANAH
Pasal 33(1)Penyediaan tanah untuk pelaksanaan PIK dilakukan oleh PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dalam rangka pelaksanaan PIK.
(2)Penyediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengadaan tanah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan menggunakan waktu minimum.
(3)Tanah untuk PIK yang telah ditetapkan lokasinya oleh gubernur, tidak dapat dilakukan pemindahan hak atas tanahnya oleh pemilik hak kepada pihak lain selain kepada Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 34(1)Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk PIK yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar dapat dilakukan langsung oleh PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dengan pemegang hak atas tanah dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.
(2)Penetapan besarnya nilai jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penilaian jasa Penilai atau Penilai Publik.
(3)Dalam hal pemegang hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menyetujui besaran hasil penilaian jasa Penilai atau Penilai Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dapat menetapkan nilai jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak berdasarkan skema analisis manfaat dan biaya (cost and benefit analysis) dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik (good governance).
Pasal 35Dalam hal penyediaan tanah yang diperlukan untuk transmisi dan/atau gardu yang tidak dapat dilakukan pengadaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, penyediaan tanah oleh PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dapat dilakukan melalui sewa, pinjam pakai, atau kerja sama dengan pemegang hak atas tanah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Pasal 36(1)Dalam hal lokasi untuk pengadaan tanah bagi PIK yang dikuasai oleh masyarakat berada pada kawasan hutan, PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL meminta kepada Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan keterangan atas kepemilikan tanah dimaksud.
(2)Badan Pertanahan Nasional dalam rangka memberikan keterangan atas kepemilikan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
(3)Dalam hal Badan Pertanahan Nasional menyatakan bahwa masyarakat tidak memiliki hak atas tanah yang berada pada kawasan hutan, PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL melakukan penyelesaian melalui izin pinjam pakai kawasan hutan.
(4)Terhadap masyarakat yang berada pada kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang tanahnya digunakan untuk PIK, dilakukan penyelesaian teknis oleh PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL bersama dengan kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah dengan memperhitungkan kebutuhan dan dampak sosial masyarakat.
(5)Ketentuan penyelesaian teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 37(1)Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah memberikan dukungan kepada PT PLN (Persero), anak perusahaan PT PLN (Persero), atau PPL dalam proses pengadaan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.
prioritas atas penyediaan tanah;
b.kerja sama pemanfaatan atas Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah; dan/atau
c.kerja sama penyediaan infrastruktur atas Barang Milik Negara/Daerah berupa tanah,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PENYELESAIAN PERMASALAHAN DAN HAMBATAN
Pasal 38(1)Menteri/kepala lembaga atau Pemerintah Daerah wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan di bidangnya dalam pelaksanaan PIK.
(2)Dalam hal penyelesaian hambatan dan permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mendesak untuk kepentingan dan kemanfaatan umum serta pelayanan publik, menteri/kepala lembaga atau Pemerintah Daerah mengambil diskresi sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik serta memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan.
(3)Pengambilan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk dilakukan dalam rangka penanganan dampak sosial yang timbul dalam pelaksanaan PIK.
(4)Dalam hal tertentu pengambilan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan koordinasi dan pembahasan dengan kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah.
(5)Dalam hal pengambilan diskresi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat permasalahan hukum terkait dengan administrasi pemerintahan, penyelesaiannya dilakukan melalui ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan.
Pasal 39Dalam hal peraturan perundang-undangan belum mengatur atau tidak jelas mengatur kewenangan untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan PIK, menteri/kepala lembaga dan/atau Pemerintah Daerah berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Pasal 40(1)Pimpinan PT PLN (Persero), pimpinan anak perusahaan PT PLN (Persero), atau pimpinan PPL melakukan upaya untuk penyelesaian PIK dan wajib mengambil langkah-langkah penyelesaian hambatan dan permasalahan yang dihadapi dalam percepatan pelaksanaan PIK sesuai dengan kewenangannya.
(2)Penyelesaian hambatan dan permasalahan oleh pimpinan PT PLN (Persero) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk upaya penyelesaian pelaksanaan kontrak yang terkendala.
(3)Dalam hal penyelesaian pelaksanaan kontrak yang terkendala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menimbulkan tambahan biaya, pimpinan PT PLN (Persero) dapat meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan untuk menghitung besaran tambahan biaya dimaksud.
(4)Dalam hal pengambilan langkah-langkah penyelesaian hambatan dan permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat permasalahan hukum, penyelesaiannya dilakukan dengan mendahulukan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perseroan terbatas.
BAB IX
PENYELESAIAN PERMASALAHAN HUKUM
DALAM PELAKSANAAN PIK
Pasal 41(1)Pimpinan PT PLN (Persero), pimpinan anak perusahaan PT PLN (Persero), atau pimpinan PPL wajib memeriksa dan menindaklanjuti laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelaksanaan PIK.
(2)Dalam hal laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan kewenangan administrasi pemerintahan, pimpinan PT PLN (Persero), pimpinan anak perusahaan PT PLN (Persero), atau pimpinan PPL meneruskan atau menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada:
a.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagai pembina teknis penyelenggaraan PIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dalam hal laporan menyangkut pelaksanaan teknis PIK; atau
b.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara sebagai pembina korporasi dan manajemen penyelenggaraan PIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dalam hal laporan menyangkut pelaksanaan korporasi dan manajemen penyelenggaraan PIK.
Pasal 42(1)Dalam hal terdapat laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat kepada Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan PIK, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan.
(2)Dalam hal laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara Republik Indonesia meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada:
a.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral sebagai pembina teknis penyelenggaraan PIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dalam hal laporan menyangkut pelaksanaan teknis PIK; atau
b.menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara sebagai pembina korporasi dan manajemen penyelenggaraan PIK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dalam hal laporan menyangkut pelaksanaan korporasi dan manajemen penyelenggaraan PIK.
Pasal 43(1)Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara melakukan pemeriksaan dan tindak lanjut penyelesaian atas laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak laporan dan/atau pengaduan masyarakat diterima.
(2)Dalam hal pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di badan usaha milik negara meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit lebih lanjut paling lama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja.
(3)Hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a.kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara;
b.kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara; atau
c.tindak pidana yang bukan bersifat administratif.
(4)Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan.
(5)Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan.
(6)Penyelesaian hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara kepada Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 5 (lima) hari kerja.
(7)Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja wajib menyampaikan kepada Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44(1)Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini:
a.Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 tentang Penerimaan Kredit Luar Negeri; dan/atau
b.Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1991 tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri,
dikecualikan untuk pelaksanaan pinjaman yang dilakukan PT PLN (Persero) dalam rangka penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2)Dalam rangka pelaksanaan pinjaman komersial luar negeri, PT PLN (Persero) menyampaikan laporannya kepada menteri yang menyelenggarakan koordinasi urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara.
Pasal 45(1)Untuk mendukung pelaksanaan PIK, dibentuk Tim Koordinasi Pelaksanaan PIK yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi.
(2)Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi urusan pemerintahan di bidang perekonomian, dengan keanggotaan terdiri atas wakil dari kementerian yang menyelenggarakan koordinasi urusan pemerintahan di bidang kemaritiman, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal, lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan, dan instansi terkait lainnya.
(3)Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas melakukan koordinasi dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan PIK.
(4)Ketentuan lebih lanjut mengenai Tim Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi urusan pemerintahan di bidang perekonomian.
Pasal 46PT PLN (Persero) wajib menyampaikan laporan secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dan sewaktu-waktu apabila diperlukan dalam rangka pelaksanaan PIK kepada Tim Koordinasi.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Januari 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY